Seni merah; Meghan
#LOOCALISM : 1st WRITING EVENT
Cerita ini tidak ada hubungannya dengan plot utama!! []
┉┅━━━━━━━━━━━━┅┉
Sang surya bersinar dengan ganasnya, membuat tubuh dibasahi oleh keringat. Sarada membaringkan tubuhnya di ranjang yang berada di kamar ber-AC, menunggu kedatangan teman-temannya.
Terdengar suara klakson mobil dari halaman depan rumahnya, Sarada dengan cepat menggambil barang-barang yang sudah ia siapkan dan bergegas keluar dari kamar.
"Aku berangkat ya Ma, Pa."
Setelah berpamitan ia langsung pergi menghampiri mobil sedan berwarna putih yang dipakai untuk berkunjung ke suatu tempat; Villa Meghan.
"Kalian lama sekali," keluhnya.
"Seperti yang tidak tahu Jakarta saja kamu ini, Sar."
"Diam! Sebelumnya aku akan memberi tahu sesuatu ...." Ditunjukan sebuah pesan yang tertera di telepon genggam milik Puwan, "Penjaga villa bilang begini."
"Maaf mbak saya dan penjaga lainnya tidak bisa menjadi pemandu dalam kunjungan yang mbak dan teman-teman mbak. Jika sudah berada di villa masuk saja, kunci villa tersimpan di pot bunga yang tergantung."
"Ya-ya tidak masalah," ucap Ramsey dengan santainya.
"Cih, dia malah memberi tanggapan dengan begitu santai. Pesan itu seharusnya membuat dia sedikit gelisah," batin Sarada.
■ ■ ■ ■
Terdengar alunan musik yang bercampur dengan suara riuh dari para penumpang, mengikuti setiap irama dalam musik dan melakukan gaya layaknya penyanyi-penyanyi yang sedang mengguncang panggung.
Mobil yang ditumpangi mereka pun sampai di depan gedung besar dan tinggi, gedung yang terlihat sedikit usang tetapi masih gemar dikunjungin wisatawan-wisatawan dalam maupun luar negeri.
"Tempatnya cukup menarik, ayo masuk ke dalam," ucap salah satu dari mereka, Alfiras.
Sarada merasakan ada sesuatu yang aneh. Jantungnya berdetak sangat kencang, seperti sudah berlari beberapa kilo meter.
"Villa ini memiliki dua kamar, untuk perempuan bisa menempati kamar yang berada di pojok kanan lantai dua, untuk laki-laki di pojok kiri lantai dua," jelas Puwan.
Mereka pun membawa barangnya masing-masing menuju ke kamar yang sudah ditentukan.
"Baru saja datang, kenapa aku sudah merasakan hawa yang aneh?" batinnya. Sarada membaringkan tubuh dan menutup matanya, pelahan-lahan ia terlelap.
"Sarada! Puwan!" teriak Afiras dari luar kamar Puwan dan Sarada.
Sarada membuka matanya, terkejut akan teriakan Alfiras. Kedua perempuan itupun keluar kamar untuk memeriksa apa yg terjadi.
"Ada apa?"
"Ramsey ... Ramsey hilang! Dan ada tulisan di jendela kamar."
Mereka bertiga bergegas menuju kamar yang ditempati oleh laki-laki, melihat sebuah jendela yang kotor karena tulisan berwarna merah, darah! Itu darah.
a+a/c+b/j+h/k+h/j-a/g-f/j+f!!!!
"Aku juga menemukan ini." Junius memperlihatkan selembar kertas, ia bercerita bahwa saat mencari Ramsey ia menemukan kertas itu di depan pintu yang terkunci.
Morietur¹.
"Kita bagi tugas. Puwan dan Alfiras pergi mencari Ramsey, aku dan Junius akan memecahkan teka-teki ini." Mereka pun memulai tugasnya masing-masing.
"Pertama kita akan memecahkan maksud dari tulisan yang ada di jendela."
Sarada dan Junius terus mencari informasi dari internet dan berpikir menggunakan pemikiran mereka sendiri. Menit ke-30 telah berlalu, mereka masih dengan keadaan yang sama, bepikir, berpikir dan terus berpikir.
"Sepertinya aku tau." Sarada menatap Junius, menaikan satu alisnya seakan menanyakan apa itu, Junius dengan cepat menjelaskan isi dari tulisan merah itu.
"Cara kerja teka-teki ini sangat sederhana tapi dari tadi kita memikirkan yang ribet-ribet, kita sama sekali tidak memiliki pikiran sesederhana ini. A itu 1, b adalah 2, dan seterusnya. Jadi a+a itu sama dengan 1+1, sederhana bukan? Dan tulisan itu memiliki arti; bersiap."
Sarada melihat ke jendela, memikirkan arti dari tulisan merah tersebut. "Apa maksud dari bersiap?" batinnya.
"Lanjut ke tulisan yang di kertas." Sarada dengan cepat mencari artinya di internet, matanya membulat ketika berhasil menemukannya.
"Jun, lihatlah." Junius terkejut akan artinya, "Celaka! Kita harus segera memberitahu Alfiras dan Puwan."
■ ■ ■ ■
"Ramsey!! Ramsey!!" Alfiras dan Puwan masih belum juga menemukan Ramsey, mereka sudah mencari di setiap sudut villa. Puwan menyenggol tangan Alfiras.
"Satu tempat lagi ... pintu yang dimaksud Junius," ucap Puwan.
Mereka bergegas menuju ke pintu di ujung lorong lantai bawah. Mengetuk pintu itu dan berusah untuk membukanya. Alfiras melihat sekeliling dan matanya terfokus menuju kawat yang tergeletak di lantai.
"Minggir!" perintah Alfiras dan langsung mencoba membuka pintunya menggunakan kawat yang ia temui.
Pintu terbuka! Hawa di dalam sana terasa menyeramkan, ruangannya begitu gelap dan mengelurkan sedikit bau anyir.
"Ramsey, kau di sana?" Puwan mencoba untuk menyalakan lampunya. Tidak bisa, lampunya tetap mati.
Brak!
"Pintunya!" Mereka mencoba membuka pintunya kembali, tetapi nihil, pintunya tidak mau terbuka. "Siapapun tolong kami!" Teriak Puwan, tanpa disadari setetes air jatuh dari matanya.
■ ■ ■ ■
"Cepat, Sar!" Rasa cemas yang menyelimuti, berlari kesana kemari. Keringat membasahi dahi mereka, sampai akhirnya mereka sampai di depan pintu di ujung lorong lantai bawah.
Sarada membuka pintunya. "Loh? Tidak dikunci," batinnya. Ia menoleh kearah Junius, begitupun sebaliknya.
"Masuk?" Junius mengangguk.
Mereka masuk ke dalam, mencium bau anyir yang menyengat. Junius menyalakan senter dari telepon genggamnya, mereka terkejut ketika melihat banyak darah yang berceceran di ruangan tersebut.
Dengan perasaan tegang mereka terus masuk semakin dalam dan menemukan sebuah pintu kecil di lantai.
"Sepertinya itu ruangan bawah tanah," pikir Sarada.
Mereka membuka pintunya dan turun menuju ke bawah. Bau anyir dan busuk bersatu, mata mereka membulat melihat isi di ruangan bawah tanah tersebut. Banyak mayat yang tergeletak, penjaga villa bahkan ke tiga temannya berada di sana.
Air mata Sarada jatuh, ia berjalan ke tempat Ramsey, Puwan dan Alfiras. "Sial, kenapa jadi seperti ini?" batinnya.
"Ahh!" Sarada melihat ke asal suara. Lagi-lagi matanya membulat, ia melihat temannya tertusuk oleh benda tajam.
"Jun—" Ia merasakan ada tangan yang menahan bahunya, badannya sedikit bergetar. Takut, itu yang sedang ia rasakan sekarang.
Seseorang berjalan menuju ke hadapannya, dengan topeng yang menutupi wajahnya dan sebuah benda tajam di tangannya.
"Mereka sudah mati Nona, dan sekarang adalah giliranmu." Sarada melangkah mundur.
"Kau!"
"Ada apa, Nona? Kita semua adalah pendosa, entah dengan cara yang keji atau elegan. Aku bisa membuat kalian menjadi karya seni dengan logam panjang ini, karya seni yang di setiap ukirannya mengalunkan nada." Pria bertopeng itu berjalan mendekat ke arah Sarada, menggapai tangannya dan menariknya agar mendekat.
"Lepaskan! ... ahh!" Tanganya digores oleh pisau yang dibawa Pria bertopeng itu.
Darah segar menetes dari tangan Sarada, tapi ternyata warna merah tidak bertahan lama ia cepat mengering bagai waktu yang perlahan hilang, mereka lenyap dalam waktu yang singkat.
"Sekarang saatnya, Nona."
Mulut Sarada mengeluarkan darah, bajunya belumuran dengan darah. Pria itu hanya tertawa karena berhasil menusukan pisau itu padanya.
Seakan udara tak mengizinkan lagi ia untuk bernafas, setiap waktu telah ia sia-sia kan.
"Kamu harus mati seperti mereka, karena tak seharusnya karya seniku memiliki nafas. Kalian tidak akan mati dan akan lebih indah jika kalian menghargai setiap detik."
━━━━━━━━━━━━━━━━━
Bahasa asing:
▪Morietur¹: Mati
Komentar
Posting Komentar